Halaman

Minggu, 24 November 2013

REVIEW 1

Review Pembuatan Bioetanol dari Limbah kulit kopi, kulit nanas, dan ampas sagu
Naufal Najmuddin (1112096000056)
 Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412

ABSTRAK
            Pada proses pengolahan biji kopi, akan menghasilkan 35% limbah kulit kopi yang merupakan sumber bahan organik berkadar selulosa dan tersedia melimpah di Indonesia, sehingga limbah kulit kopi dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol. Sebagai energy alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM), bioetanol memiliki kelebihan dibanding dengan BBM, diantaranya memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi (118) dan lebih ramah lingkungan karena mengandung emisi gas CO lebih rendah19–25%. Proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan menghidrolisis kulit kopi menjadi glukosa menggunakan katalis H2SO4 dan HC. Sebuah penelitian mengenai bioetanol dari limbah produksi sagu oleh proses hidrolisis asam dan oleh berarti Sacharomyces cerevisiae dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui asam appropriate konsentrasi dan waktu pemanasan dalam proses hidrolisis limbah sagu dan untuk mengamati pengaruh waktu fermentasi terhadap perubahan pH menengah, jumlah sel, dan konsentrasi bioetanol. Hidrolisat yang dihasilkan dari hidrolisis diikuti oleh fermentasi. selama itu fermentasi ada penurunan pH medium dan meningkatkan jumlah sel. Optimum produksi etanol pada waktu fermentasi 4 hari dengan konsentrasi 7,7%. Dari proses fermentasi sari kulit nanas dengan Saccharomyces cerevisiae dan proses destilasi didapatkan kadar bioethanol tertinggi hanya sebesar 3,9%, dan dengan destilasi berulang selama tiga kali konsentrasi bioetanol tetap tidak meningkat, untuk itu diperlukan metode alternatif permunian lain yaitu dengan proses adsorpsi.
           


PENDAHULUAN
Seiring dengan ketersediaan energy di dunia yang semakin menipis sedangkan kebutuhan akan energi semakin hari semakin meningkat, hal ini mendorong peneliti untuk mencari sumber energy baru sebagai energi alternativ, salah satunya adalah bioetanol. Bioetanol memiliki kelebihan disbanding dengan BBM, diantaranya memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi (118) dan lebih ramah lingkungan karena mengandung emisi gas CO lebih rendah19–25% (Indartono Y., 2005). Selain itu bioetanol dapat diproduksi oleh mikroorganisme secara terus menerus. Produksi bioetanol di berbagai negara telah dilakukan dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari hasil pertanian dan perkebunan (Sarjoko, 1991). Oleh karena itu dilakukan upaya mencari bahan baku alternatif lain dari sektor non pangan untuk pembuatan etanol. Bahan selulosa memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif pembuatan etanol. Salah satu contohnya adalah limbah kulit kopi, kulit nanas, dan ampas sagu.
            Proses fermentasi gula hasil hidrolisis kulit kopi menjadi bioethanol menggunakan bakteri Zymomonasmobilis adalah bakteri yang berbentuk batang, termasuk dalam bakteri gram negatif, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri yang dapat bergerak(Lee, et al, 1979). Bakteri ini banyak digunakan di perusahaan bioetanol karena mempunyai kemampuan yang dapat melampaui ragi dalam beberapa aspek. Menurut Wijana, dkk (1991) kulit nanas mengandung 81,72 % air; 20,87 % serat kasar; 17,53 % karbohidrat; 4,41 % protein dan 13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan karbohidrat dan gula yang cukup tinggi tersebut maka kulit nanas memungkinkan untuk diman-faatkan sebagai bahan baku bioetanol. Dalam tahap pertama fermentasi glukosa  selalu terbentuk asam piruvat melalui jalur  Embden Meyerhof Parnas (EMP) atau glikolisis.  Piruvat tersebut diubah menjadi alkohol  melalui dua tahap yaitu pertama, piruvat  didekarboksilasi menjadi asetaldehid oleh  piruvat dekarboksilase dengan melibatkan tiamin pirofosfat dan tahap kedua asetaldehid  oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan  NADH2 menjadi alkohol

HASIL dan PEMBAHASAN
Pembuatan bioethanol dari limbah kulit kopi
Pengunaan katalis yang terbaik adalah pada konsentrasi katalis 20 % (v/v), Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi 10 % terjadi degradasi glukosa yang terbentuk menjadi struktur kimia yang lain sehingga dapat menurunkan konversi reaksi. Sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 30 % terjadi proses pembakaran selulosa sehingga selulosa yang dirubah menjadi glukosa menjadi sedikit dan pada akhirnya glukosa yang dihasilkan juga sedikit. Katalis HCl menghasilkan glukosa lebih tinggi jika dibandingkan H2SO4. Hal ini diakibatkan H2SO4 bersifat membakar selulosa sedangkan HCl tidak, sehingga glukosa yang dihasilkan lebih sedikit. Penggunaanasam encer pada hidrolisis memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan asam pekat pada proses hidrolisis (Sukeksi, S), dan penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis selulosa dilakukan pada temperatur 100 oC dan membutuhkan waktu reaksi antara 2-6 jam. Konsentrasi asam yang digunakan adalah 10–30%. Keuntungan dari penggunaan asam pekat ini adalah konversi gula yang dihasilkan tinggi, yaitu bisa mencapai konversi 90% (Badger, 2002). Namun pada penelitian kali ini hasil glukosa yang didapatkan tidak terlalu tinggi hal ini terjadi karena adanya lignin yang berada didalam kulit kopi. Lignin ini mengikat selulosa sehingga mengganggu berlangsungnya proses hidrolisis. Didalam limbah kulit kopi mengandung lignin sebanyak 7,63 % (BalaiPenelitian dan Konsultasi Industri (BPKI) Surabaya, 2011). Kondisi terbaik proses hidrolisis (katalis HCl dengan konsentrasi 20 % (v/v)) menghasilkan glukosa sebesar 10,04 %. Kondisi terbaik ini dipilih untuk proses fermentasi.
Pembuatan bioethanol dari kulit nanas
Dari hasil fermentasi kulit nanas (dengan kadar gula sebesar 8 %) didapatkan bioethanol dengan kemurnian sebesar 3,9%.Penggunaan zeolit pada kondisi sudah diaktivasi menunjukkan hasil pemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tidak diaktivasi. Adsorpsi terjadi pada permukaan pori membran. Partikel zeolit memiliki tiga tipe pori, yaitu macropore dan micropore (masing-masing dengan ukuran >50nm dan <2nm). Di antara keduanya terdapat mesopore. Macropore merupakan jalan masuk ke dalam partikel menuju micropore. Macropore tidak berkontribusi terhadap besarnya luas permukaan zeolit. Sebaliknya, micropore adalah penyebab besarnya luas permukaan zeolit. Micropore tersebut sebagian besar terbentuk selama proses aktivasi. Pada micropore inilah sebagian besar peristiwa adsorpsi terjadi. Air dalam bioetanol dapat teradsorbsi karena gaya tarik dari permukaan zeolit lebih besar dari pada gaya tarik yang menahan air tersebut untuk tetap larut dalam etanol. Dengan memanfaatkan sifat fisik dan kimia zeolit yaitu sifat hidrofilik dan ukuran pori < 0.44 nm, air dalam bioetanol dapat diserap secara sempurna dan pada akhirnya kemurniannya meningkat. Aktivasi menggunakan asam menyebabkan pembentukan struktur pori mesopori dan perubahan perbandingan Si/Al, yaitu perbandingan Si/Al meningkat karena pelepasan Al dari sturktur zeolit. Porositas partikel meberikan sifat adsorpsi zeolite yang tinggi. Perlakuan termal dapat menaikkan perbandingan Si/Al sehingga adsorpsi menjadi lebih efektif dan dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi.
Pembuatan bioethanol dari ampas sagu
Mikroba yag diisolasi dari fermipan memiliki  bentuk koloni yang hampir sama dengan  koloni Saccharomyces cerevisiae ATCC 19433  yang ada pada literatur. Proses hidrolisis dilakukan tiap variabel  konsentrasi asam sulfat dan asam klorida  (0,1;0,2; 0,3; 0,4; 0,5 N). Proses hidrolisis asam  dilakukan untuk mengubah selulosa dalam  ampas sagu menjadi gula reduksi. Kadar gula  reduksi (gr/l) yang didapat untuk tiap  variabel konsentrasi asam (N). Kadar gula reduksi terbanyak hasil hidrolisis  dicapai pada saat konsentrasi larutan 0,3 N.  Dalam proses hidrolisa gugus H+ dari asam  akan mengubah gugus serat dari ampas sagu  menjadi gugus radikal bebas. Gugus radikal  bebas serat yang kemudian akan berikatan  dengan gugus OH-  dari air dan bereaksi pada  suhu 120C menghasilkan gula reduksi. Pada  saat konsentrasi larutan asam 0,2 N  kebutuhan H+ dari asam belum mencukupi  sehingga tidak banyak terbentuk gugus  radikal bebas dari ampas sagu dan gula  reduksi yang dihasilkan belum maksimal.  Namun jika dilakukan penambahan  konsentrasi larutan asam terlalu banyak justru  gula reduksi yang dihasilkan semakin  menurun. Penambahan konsentrasi larutan  asam akan terbentuk lebih banyak gugus  radikal bebas, tetapi penambahan konsentrasi  larutan asam menyebabkan semakin sedikit  air dalam komposisi larutan hidrolisa.  Sehingga kebutuhan OH-  sebagai pengikat  radikal bebas serat berkurang dan glukosa  yang dihasilkan semakin sedikit.(7)  Dengan  demikian konsentrasi asam yang paling  optimum saat reaksi hidrolisis untuk  menghidrolisa serat dari ampas sagu menjadi  gula reduksi yang terbanyak adalah 0,3 N baik  itu asam sulfat maupun asam klorida.  Dari proses hidrolisis dapat disimpulkan  bahwa asam sulfat dengan konsentrasi 0,3 N  memberikan hasil yang lebih baik daripada  asam klorida. Hidrolisat yang telah diatur pH nya mejadi  5,5, dilanjutkan pada proses fermentasi.  Konsentrasi etanol diukur menggunakan alat  GC-MS. Hasil konsentrasi etanol yang  diperoleh.
KESIMPULAN
Untuk membuat perbandingan antara ketiganya sangat sulit karena perlakuan anatara ketiganya berbeda-beda. Namun, masing-masing cara pembuatannya pun masing-masing mepunyai kelebihan dan kekurangan. Dan yang paling mudah cara pembuatannya itu dengan menggunakan limbah kulit kopi.
DAFTAR PUSTAKA
-          Fessenden dan Fessenden.1986. Kimia Organik 1. Jakarta : Erlangga
-          http://jurnalsain-unand.com/FilesJurnal/7367806596-Daniel%20de%20Idral.pdf
-          Http://www.scribd.com

-          Http://www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar