Review
Pembuatan Bioetanol dari Limbah kulit kopi, kulit nanas, dan ampas sagu
Naufal Najmuddin
(1112096000056)
Program Studi
Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412
ABSTRAK
Pada proses pengolahan biji kopi,
akan menghasilkan 35% limbah kulit kopi yang merupakan sumber bahan organik
berkadar selulosa dan tersedia melimpah di Indonesia, sehingga limbah kulit
kopi dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol. Sebagai energy alternatif pengganti
Bahan Bakar Minyak (BBM), bioetanol memiliki kelebihan dibanding dengan BBM,
diantaranya memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga
terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi (118) dan lebih ramah
lingkungan karena mengandung emisi gas CO lebih rendah19–25%. Proses pembuatan
bioetanol dilakukan dengan menghidrolisis kulit kopi menjadi glukosa
menggunakan katalis H2SO4 dan HC. Sebuah penelitian mengenai bioetanol dari
limbah produksi sagu oleh proses hidrolisis asam dan oleh berarti Sacharomyces
cerevisiae dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui asam
appropriate konsentrasi dan waktu pemanasan dalam proses hidrolisis limbah sagu
dan untuk mengamati pengaruh waktu fermentasi terhadap perubahan pH menengah,
jumlah sel, dan konsentrasi bioetanol. Hidrolisat yang dihasilkan dari
hidrolisis diikuti oleh fermentasi. selama itu fermentasi ada penurunan pH
medium dan meningkatkan jumlah sel. Optimum produksi etanol pada waktu
fermentasi 4 hari dengan konsentrasi 7,7%. Dari proses fermentasi sari kulit
nanas dengan Saccharomyces cerevisiae dan proses destilasi didapatkan kadar
bioethanol tertinggi hanya sebesar 3,9%, dan dengan destilasi berulang selama
tiga kali konsentrasi bioetanol tetap tidak meningkat, untuk itu diperlukan
metode alternatif permunian lain yaitu dengan proses adsorpsi.
PENDAHULUAN
Seiring dengan
ketersediaan energy di dunia yang semakin menipis sedangkan kebutuhan akan
energi semakin hari semakin meningkat, hal ini mendorong peneliti untuk mencari
sumber energy baru sebagai energi alternativ, salah satunya adalah bioetanol.
Bioetanol memiliki kelebihan disbanding dengan BBM, diantaranya memiliki
kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga terbakar lebih sempurna,
bernilai oktan lebih tinggi (118) dan lebih ramah lingkungan karena mengandung
emisi gas CO lebih rendah19–25% (Indartono Y., 2005). Selain itu bioetanol
dapat diproduksi oleh mikroorganisme secara terus menerus. Produksi bioetanol
di berbagai negara telah dilakukan dengan menggunakan bahan baku yang berasal
dari hasil pertanian dan perkebunan (Sarjoko, 1991). Oleh karena itu dilakukan
upaya mencari bahan baku alternatif lain dari sektor non pangan untuk pembuatan
etanol. Bahan selulosa memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif pembuatan
etanol. Salah satu contohnya adalah limbah kulit kopi, kulit nanas, dan ampas
sagu.
Proses fermentasi gula hasil
hidrolisis kulit kopi menjadi bioethanol menggunakan bakteri Zymomonasmobilis
adalah bakteri yang berbentuk batang, termasuk dalam bakteri gram negatif,
tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri yang dapat bergerak(Lee, et al,
1979). Bakteri ini banyak digunakan di perusahaan bioetanol karena mempunyai
kemampuan yang dapat melampaui ragi dalam beberapa aspek. Menurut Wijana, dkk
(1991) kulit nanas mengandung 81,72 % air; 20,87 % serat kasar; 17,53 %
karbohidrat; 4,41 % protein dan 13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan
karbohidrat dan gula yang cukup tinggi tersebut maka kulit nanas memungkinkan
untuk diman-faatkan sebagai bahan baku bioetanol. Dalam tahap pertama
fermentasi glukosa selalu terbentuk asam
piruvat melalui jalur Embden Meyerhof
Parnas (EMP) atau glikolisis. Piruvat
tersebut diubah menjadi alkohol melalui
dua tahap yaitu pertama, piruvat
didekarboksilasi menjadi asetaldehid oleh piruvat dekarboksilase dengan melibatkan
tiamin pirofosfat dan tahap kedua asetaldehid
oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan NADH2 menjadi alkohol
HASIL dan PEMBAHASAN
Pembuatan bioethanol
dari limbah kulit kopi
Pengunaan
katalis yang terbaik adalah pada konsentrasi katalis 20 % (v/v), Hal ini
disebabkan karena pada konsentrasi 10 % terjadi degradasi glukosa yang
terbentuk menjadi struktur kimia yang lain sehingga dapat menurunkan konversi
reaksi. Sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 30 % terjadi proses
pembakaran selulosa sehingga selulosa yang dirubah menjadi glukosa menjadi
sedikit dan pada akhirnya glukosa yang dihasilkan juga sedikit. Katalis HCl
menghasilkan glukosa lebih tinggi jika dibandingkan H2SO4. Hal ini diakibatkan
H2SO4 bersifat membakar selulosa sedangkan HCl tidak, sehingga glukosa yang
dihasilkan lebih sedikit. Penggunaanasam encer pada hidrolisis memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan asam pekat pada proses hidrolisis (Sukeksi, S),
dan penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis selulosa dilakukan pada
temperatur 100 oC dan membutuhkan waktu reaksi antara 2-6 jam. Konsentrasi asam
yang digunakan adalah 10–30%. Keuntungan dari penggunaan asam pekat ini adalah
konversi gula yang dihasilkan tinggi, yaitu bisa mencapai konversi 90% (Badger,
2002). Namun pada penelitian kali ini hasil glukosa yang didapatkan tidak
terlalu tinggi hal ini terjadi karena adanya lignin yang berada didalam kulit
kopi. Lignin ini mengikat selulosa sehingga mengganggu berlangsungnya proses
hidrolisis. Didalam limbah kulit kopi mengandung lignin sebanyak 7,63 %
(BalaiPenelitian dan Konsultasi Industri (BPKI) Surabaya, 2011). Kondisi
terbaik proses hidrolisis (katalis HCl dengan konsentrasi 20 % (v/v))
menghasilkan glukosa sebesar 10,04 %. Kondisi terbaik ini dipilih untuk proses
fermentasi.
Pembuatan bioethanol
dari kulit nanas
Dari
hasil fermentasi kulit nanas (dengan kadar gula sebesar 8 %) didapatkan
bioethanol dengan kemurnian sebesar 3,9%.Penggunaan zeolit pada kondisi sudah
diaktivasi menunjukkan hasil pemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kondisi tidak diaktivasi. Adsorpsi terjadi pada permukaan pori membran.
Partikel zeolit memiliki tiga tipe pori, yaitu macropore dan micropore
(masing-masing dengan ukuran >50nm dan <2nm). Di antara keduanya terdapat
mesopore. Macropore merupakan jalan masuk ke dalam partikel menuju micropore.
Macropore tidak berkontribusi terhadap besarnya luas permukaan zeolit.
Sebaliknya, micropore adalah penyebab besarnya luas permukaan zeolit. Micropore
tersebut sebagian besar terbentuk selama proses aktivasi. Pada micropore inilah
sebagian besar peristiwa adsorpsi terjadi. Air dalam bioetanol dapat
teradsorbsi karena gaya tarik dari permukaan zeolit lebih besar dari pada gaya
tarik yang menahan air tersebut untuk tetap larut dalam etanol. Dengan
memanfaatkan sifat fisik dan kimia zeolit yaitu sifat hidrofilik dan ukuran
pori < 0.44 nm, air dalam bioetanol dapat diserap secara sempurna dan pada
akhirnya kemurniannya meningkat. Aktivasi menggunakan asam menyebabkan
pembentukan struktur pori mesopori dan perubahan perbandingan Si/Al, yaitu
perbandingan Si/Al meningkat karena pelepasan Al dari sturktur zeolit.
Porositas partikel meberikan sifat adsorpsi zeolite yang tinggi. Perlakuan termal
dapat menaikkan perbandingan Si/Al sehingga adsorpsi menjadi lebih efektif dan
dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi.
Pembuatan bioethanol
dari ampas sagu
Mikroba
yag diisolasi dari fermipan memiliki
bentuk koloni yang hampir sama dengan
koloni Saccharomyces cerevisiae ATCC 19433 yang ada pada literatur. Proses hidrolisis
dilakukan tiap variabel konsentrasi asam
sulfat dan asam klorida (0,1;0,2; 0,3;
0,4; 0,5 N). Proses hidrolisis asam
dilakukan untuk mengubah selulosa dalam
ampas sagu menjadi gula reduksi. Kadar gula reduksi (gr/l) yang didapat untuk tiap variabel konsentrasi asam (N). Kadar gula
reduksi terbanyak hasil hidrolisis dicapai
pada saat konsentrasi larutan 0,3 N.
Dalam proses hidrolisa gugus H+ dari asam akan mengubah gugus serat dari ampas
sagu menjadi gugus radikal bebas. Gugus
radikal bebas serat yang kemudian akan
berikatan dengan gugus OH- dari air dan bereaksi pada suhu 120⁰C
menghasilkan gula reduksi. Pada saat
konsentrasi larutan asam 0,2 N kebutuhan
H+ dari asam belum mencukupi sehingga
tidak banyak terbentuk gugus radikal
bebas dari ampas sagu dan gula reduksi
yang dihasilkan belum maksimal. Namun
jika dilakukan penambahan konsentrasi
larutan asam terlalu banyak justru gula
reduksi yang dihasilkan semakin menurun.
Penambahan konsentrasi larutan asam akan
terbentuk lebih banyak gugus radikal
bebas, tetapi penambahan konsentrasi
larutan asam menyebabkan semakin sedikit
air dalam komposisi larutan hidrolisa.
Sehingga kebutuhan OH- sebagai
pengikat radikal bebas serat berkurang
dan glukosa yang dihasilkan semakin
sedikit.(7) Dengan demikian konsentrasi asam yang paling optimum saat reaksi hidrolisis untuk menghidrolisa serat dari ampas sagu
menjadi gula reduksi yang terbanyak
adalah 0,3 N baik itu asam sulfat maupun
asam klorida. Dari proses hidrolisis
dapat disimpulkan bahwa asam sulfat
dengan konsentrasi 0,3 N memberikan
hasil yang lebih baik daripada asam
klorida. Hidrolisat yang telah diatur pH nya mejadi 5,5, dilanjutkan pada proses fermentasi. Konsentrasi etanol diukur menggunakan
alat GC-MS. Hasil konsentrasi etanol
yang diperoleh.
KESIMPULAN
Untuk membuat perbandingan antara ketiganya sangat
sulit karena perlakuan anatara ketiganya berbeda-beda. Namun, masing-masing
cara pembuatannya pun masing-masing mepunyai kelebihan dan kekurangan. Dan yang
paling mudah cara pembuatannya itu dengan menggunakan limbah kulit kopi.
DAFTAR PUSTAKA
-
Fessenden
dan Fessenden.1986. Kimia Organik 1.
Jakarta : Erlangga
-
http://jurnalsain-unand.com/FilesJurnal/7367806596-Daniel%20de%20Idral.pdf
-
Http://www.scribd.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar