PEMANFAATAN
BUAH SALAK SEBAGAI BIOETANOL DENGAN VARIASI JENIS BUAH DAN JENIS RAGI
Titin
Anggraini (1112096000043)
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412
Abstrak
Bioetanol
adalah etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula, pati,
maupun selulosa. Pembuatan bioetanol dengan bahan dasar buah salak dilakukan
melalui dua tahapan proses yaitu proses fermentasi dan destilasi. Proses
fermentasi mengubah glukosa menjadi etanol dengan bantuan bakteri Saccharomyces
cereviceae yang terkandung pada ragi roti. Proses destilasi merupakan proses
pemurnian untuk meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan pada proses
fermentasi. Analisa yang dilakukan terhadap sampel adalah secara kuantitatif.
Sedangkan dalam analisa kuantitatif, jumlah bioetanol yang dihasilkan dari
proses tersebut memiliki kadar alkohol terbesar pada media fermentasi daging
salak bagus yang menggunakan ragi roti yaitu sebesar 83,70 %. Namun penggunaan
media salak busuk dengan penambahan ragi roti juga menghasilkan jumlah dan
kadar alkohol yang cukup tinggi yaitu 104 ml dengan kadar 83,33 %. Sedangkan
salak busuk yang menggunakan ragi tape dapat menghasilkan 103 ml dengan 82,50 %
kadar alkoholnya.
Abstract
Bioethanol
is ethanol that made by biomass containing with sugar components, starch, or
cellulose. Making bioethanol with basic ingridients of snack fruit through two stage of the process
of fermentation and distillation process. The process of fermentation convert
glucose into ethanol with the aid of bacteria contained in saccharomyces
cereviceae yeast bread. The process of distillation is purrification process to
increase the levels of ethanol produce fermentation processes. Quantitative
analysis, the amount of bioethanol produced from this process has the biggest
alcoholic fermentation medium bark beef that uses a yeast bread that is equal
to 82.70%. However, the use of media with the addition of the snake fruit rot
yeast also produces the number and levels of alcohol is high at 104 ml with
levels of 83.33%. While the snake fruit of rotten tape using yeast to produce
103 ml with 82.50% alcohol content.
I. Pendahuluan
Etanol atau ethyl alkohol (C2H5OH)
berupa cairan bening tidak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable),
toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yang besar bila bocor.
Etanol yang terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air.
Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari bahan bergula, berpati dan berserat.
Dengan berkembangnya proses sakarifikasi bahan-bahan berpati menggunakan enzim,
bahan baku pembuatan etanol juga berkembang dari gula ke pati. Pati adalah
polimer gula atau sakarida. Jika pati dipecah-pecah akan menghasilkan gula yang
bisa difermentasi menjadi etanol. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan
bioetanol salah satunya adalah salak.
Setiap
kali musim panen sering terjadi pembuangan salak yang rusak dan busuk oleh para
petani. Penyebabnya adalah harga jual para petani sangat rendah, sebagai
imbasnya banyak salak yang tertahan di gudang petani yang akhirnya akan
menyebabkan salak menjadi rusak dan busuk. Selain penumpukan salak pada gudang
karena daya jual petani yang rendah, proses pengangkutan salak kepasaran juga
memiliki persentase besar untuk merusak buah salak saat tiba dipasaran (Trubus
505, Des 2011). Biasanya buah salak dimanfaatkan sebagai manisan selain
dikonsumsi sebagai buah segar karena kandungan gizinya yang cukup tinggi.
Dimana kandungan karbohidratnya adalah 20,90 gr dengan kadar glukosa mencapai
60,83% dari bahan kering, sehingga buah salak ini bisa digunakan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol. Oleh sebab itu, untuk memanfaatkan limbah, salak yang
rusak dan busuk ini dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
Proses pembuatan bioetanol dari buah salak ini menggunakan proses fermentasi
dan pemurnian alkohol dengan distilasi.
1.
Bioetanol
dari Buah Salak Bagus dengan Menggunakan Ragi Roti
Pada
akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil
fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada
akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan
menggunakan ragi roti adalah sebanyak 111 ml.
Untuk
penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan menghitung densitas
sampel yang kemudian akan
dicocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda.
Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai berikut:
Suhu :
25°C
Berat piknometer kosong:15,00 gram
Volume piknometer kosong : 10,283
ml
Berat piknometer + aquades : 25,20
gram
Berat piknometer + sampel : 23,53
gram
Berat sampel : 8,53 gram
Kadar alkohol : 83,7 %
Kadar
alkohol tertinggi setelah didestilasi terdapat pada salak bagus dengan penggunaan ragi roti. Hal ini dikarenakan salak bagus masih mengandung
glukosa karbohidrat yang banyak
yang dapat difermentasi dengan baik oleh bakteri Saccaromycess cereviceae sehingga menghasilkan
konsentrasi alkohol yang lebih tinggi.
Jumlah
Kadar Alkohol pada salak bagus setelah didestilasi dengan ragi roti
menghasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kadar alkohol pada salak bagus dengan
ragi tape. Karena ragi roti lebih banyak menggandung Saccharomycess cereviceae
jika dibandingkan dengan ragi tape, maka jumlah alkohol yang dihasilkan lebih
banyak pula sedangkan ragi tape mengandung lebih sedikit Saccharomycess
cereviceae. Ragi roti berkembang biak dengan sangat cepat dan menghasilkan
fermentasi yang mempu mengubah pati dan gula menjadi karbondioksida dan
alkohol. Dalam proses fermentasinya juga menghasilkan sedikit enzim-enzim yang
dibutuhkan dalam proses fermentasi itu sendiri sedangkan ragi tape ini
menghasilkan enzim-enzim yang banyak berperan dalam proses fermentasi itu
sendiri. Ragi tape yang digunakan sebagai inokulum mengandung jumlah total
mikroba sebanyak 1,6 x 107 CFU/gram. Adapun isolat-isolat yang diperoleh dari
ragi tersebut terdiri atas empat macam isolat mikroba, yaitu dua isolat kapang
dari genus Rhizopus dan dua isolat khamir yaitu satu dari genus Saccharomycess
dan satu dari genus Schizosaccharomycess.
Karena
komposisi mikroorganisme Saccaromycess yang terkadung pada ragi roti lebih
banyak dibandingkan dengan ragi tape, maka kadar alkohol pada penambahan ragi
roti lebih tinggi daripada ragi tape.
2. Bioetanol dari Buah Salak Bagus dengan menggunakan
Ragi Tape
Pada akhir
proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil
fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada
akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan
menggunakan ragi roti adalah sebanyak 103 ml.
Untuk
penentuan kadar alkohol dalam sampel dilakukan dengan menghitung densitas
sampel yang kemudian akan di cocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu
dan konsentrasi berbeda. Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan
data sebagai berikut:
Suhu :
25°C
Berat piknometer kosong : 15,00
gram
Volume piknometer kosong :10,283 ml
Berat piknometer + sampel : 23,56
gram
Berat sampel : 8,56 gram
Kadar alkohol : 82,5 %
Kadar alkohol
pada salak bagus dengan menggunakan ragi tape masih tinggi dibandingkan kadar
alkohol pada salak busuk meskipun lebih rendah dibandingkan dengan kadar
alkohol pada salak bagus yang menggunakan ragi tape. Hal ini disebabkan karena
perbedaan pada penggunaan ragi. Ragi roti dan ragi tape mengandung
mikroorganisme yang sama yaitu Saccharomycess cereviceae, bedanya adalah ragi
tape dibuat dengan penambahan bumbu-bumbu dan mikroorganisme lain, sehingga
tidak hanya khamir tetapi ada juga beberapa jenis mikroorganisme lain. Karena ragi
roti lebih banyak menggandung Saccharomycess cereviceae jika dibandingkan
dengan ragi tape, maka jumlah alkohol yang dihasilkan lebih banyak pula
sedangkan ragi tape mengandung lebih sedikit Saccharomycess cereviceae.
3. Bioetanol dari Buah Salak Busuk dengan menggunakan
Ragi Roti
Pada
akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil
fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada
akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan
menggunakan ragi roti adalah sebanyak 104 ml. Dalam penelitian ini sebanyak 1
kg daging salak bagus yang difermentasikan dengan menggunakan ragi roti
menghasilkan 111 ml bioetanol. Jadi, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol
dibutuhkan 9 kg daging salak bagus.
Untuk
penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan menghitung densitas sampel yang kemudian akan dicocokkan
dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda. Sampel
diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai berikut:
Suhu :
25°C
Berat piknometer kosong : 15,00
gram
Volume piknometer kosong :10,283 ml
Berat
piknometer + aquades :25,20 gram
Berat
piknometer + sampel :23,54 gram
Berat sampel : 8,54 gram
Kadar alkohol : 83,33 %
Kadar alkohol pada salak busuk lebih
rendah daripada salak bagus karena pada
salak busuk, glukosa dan karbohidrat yang terkandung mengalami kerusakan baik
itu karena faktor mekanis, fisis, biologis maupun mikrobiologis sehingga kadar
alkohol yang didapat lebih sedikit dibandingkan dengan salak bagus. Kerusakan
buah salak pondoh ternyata disebabkan pertama oleh faktor mekanis seperti
benturan diantara buah salak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan, tekanan
dan buah jatuh dari tandannya. Kedua, faktor fisiologis seperti respirasi yang
secara alami senantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebut dipangkas dari
pohonnya sampai saat penyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktor
mikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidak bersih menyebabkan banyak
mikrobia khususnya jamur berpeluang untuk mengkontaminasi buah salak terutama
bagian pangkal buah setelah buah salak tersebut terlepas dari bagian tandannya.
Selain ketiga faktor di atas, penyebab kerusakan buah salak adalah faktor
biologis seperti serangan serangga atau hama tikus yang menyukai buah salak
masak. Penundaan pemanenan dalam upaya untuk mendapatkan harga yang lebih
tinggi justru menyebabkan buah salak kelewat masak dan sebagian kulitnya pecah
baik secara melintang atau membujur, dengan demikian kualitas buah salak
menjadi turun.
Berbagai
faktor tersebut di atas terbukti sebagai pemicu timbulnya luka, memar, pecah
kulit, berjamur, busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahan warna, buah
menjadi layu dan kering seperti yang diungkapkan oleh Ryall dan Lipton (1983).
Luka dan memar dapat memicu timbulnya kerusakan lain seperti kerusakan
fisiologis dan mikrobiologis karena pada bagian yang luka atau memar akan
terjadi perubahan warna daging buah menjadi coklat dan invasi mikrobia sehingga
setelah pencoklatan daging buah berlangsung secara diikuti pembusukan. Berbagai
jenis kerusakan buah salak tersebut ternyata berlangsung sejak di kebun atau
saat panen, di tingkat pedagang pengepul dan selama penyimpanan 7 hari dalam
besek bambu pada suhu 22°C - 26°C.
4. Bioetanol dari Buah Salak Busuk dengan menggunakan
Ragi Tape
Pada akhir proses fermentasi,
didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil fermentasi salak yang
sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada akhir proses destilasi, destilat
yang diperoleh pada salak bagus dengan menggunakan ragi roti adalah sebanyak
103 ml. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol dari salak busuk dibutuhkan 9,6 kg
daging salak busuk. Jika membandingkan harga salak bagus dengan salak busuk,
tentu jauh lebih ekonomis harga salak busuk sebagai bahan baku. Maka dari itu
salak busuk cocok digunakan untuk pembuatan bioetanol sebagai pemanfaatan
limbah. Untuk penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan
menghitung densitas sampel yang kemudian
akan di cocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi
berbeda. Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai
berikut:
Suhu : 25°C
Berat
piknometer kosong: 15,00 gram
Volume
piknometer kosong : 10,283 ml
Berat
piknometer + aquades :25,20 gram
Berat
piknometer + sampel : 23,56 gram
Berat
sampel : 8,56 gram
Kadar
alkohol : 82,5 %
Kadar alkohol yang didapat pada
salak busuk dengan menggunakan ragi tape sama dengan kadar alkohol pada salak
bagus yang menggunakan ragi tape yaitu 82,5 %. Jumlah etanol yang didapat dari
hasil destilasi pun sama yaitu 103 ml. Dengan nilai yang sama ini, dapat
diketahui bahwa ragi tape tidak memberikan perbedaan pada alkohol yang didapat
baik pada salak bagus maupun salak busuk, dapat dikatakan bahwa ragi tape tidak
mempengaruhi jumlah etanol dan kadar etanol yang dihasilkan. Karena ragi tape
mengandung sedikit Saccharomycess cereviceae sehingga tidak memberikan
pengaruh perbedaan pada kadar alkohol baik pada salak bagus maupun busuk.
5. Kesimpulan
Dari analisa kuantitatif didapat jumlah bioetanol dari
buah salak busuk dengan menggunakan ragi tape sebesar 103 ml, dengan kadar
alkohol 82,50 %. Sedangkan salak busuk
yang menggunakan ragi roti menghasilkan 104 ml etanol dengan kadar 83,33 %.
Media yang paling cocok pada proses fermentasi ini adalah
salak bagus, karena menghasilkan jumlah dan kadar alkohol yang tinggi. Namun
salak busuk juga dapat dimanfaatkan karena menghasilkan jumlah yang tidak jauh
hasilnya dengan salak bagus yaitu 0–7 ml, sedangkan perbedaan konsentrasi
antara 5,3-6,6 %. Maka salak busuk baik dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol
sebagai pemanfaatan limbah. Dalam perlakuan penambahan jenis ragi, ragi roti
yang paling bagus, karena ragi roti memiliki jumlah bakteri saccaromycess yang
terbanyak jika dibandingkan dengan ragi tape sehingga menghasilkan kadar
alkohol yang lebih tinggi.
6. Daftar Pustaka
Purnamasari,
Fitria dkk. Pemanfaatan Limbah
Buah Salak sebagai Sumber Bahan Bakar Alternatif (Bioetanol). http//www.ejurnal.bunghat a.ac.id/
Tathagati, Arini. 2007. Bio
Gasoline
bensin Ramah Lingkungan. Warta Pertamina No. 1 thn XLII. http://www.rhienarticle.blogspot.co m/- 92k.
Wijayanti,
Yurida. 2011. Pembuatan
Bioetanol dari Buah Salak dengan
Proses Fermentasi dan Distilasi.
Medan. USU.