Halaman

Minggu, 24 November 2013

REVIEW IV

PEMANFAATAN BUAH SALAK SEBAGAI BIOETANOL DENGAN VARIASI JENIS BUAH DAN JENIS RAGI
Titin Anggraini (1112096000043)
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412

Abstrak
            Bioetanol adalah etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula, pati, maupun selulosa. Pembuatan bioetanol dengan bahan dasar buah salak dilakukan melalui dua tahapan proses yaitu proses fermentasi dan destilasi. Proses fermentasi mengubah glukosa menjadi etanol dengan bantuan bakteri Saccharomyces cereviceae yang terkandung pada ragi roti. Proses destilasi merupakan proses pemurnian untuk meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan pada proses fermentasi. Analisa yang dilakukan terhadap sampel adalah secara kuantitatif. Sedangkan dalam analisa kuantitatif, jumlah bioetanol yang dihasilkan dari proses tersebut memiliki kadar alkohol terbesar pada media fermentasi daging salak bagus yang menggunakan ragi roti yaitu sebesar 83,70 %. Namun penggunaan media salak busuk dengan penambahan ragi roti juga menghasilkan jumlah dan kadar alkohol yang cukup tinggi yaitu 104 ml dengan kadar 83,33 %. Sedangkan salak busuk yang menggunakan ragi tape dapat menghasilkan 103 ml dengan 82,50 % kadar alkoholnya.

Abstract

        Bioethanol is ethanol that made by biomass containing with sugar components, starch, or cellulose. Making bioethanol with basic ingridients of  snack fruit through two stage of the process of fermentation and distillation process. The process of fermentation convert glucose into ethanol with the aid of bacteria contained in saccharomyces cereviceae yeast bread. The process of distillation is purrification process to increase the levels of ethanol produce fermentation processes. Quantitative analysis, the amount of bioethanol produced from this process has the biggest alcoholic fermentation medium bark beef that uses a yeast bread that is equal to 82.70%. However, the use of media with the addition of the snake fruit rot yeast also produces the number and levels of alcohol is high at 104 ml with levels of 83.33%. While the snake fruit of rotten tape using yeast to produce 103 ml with 82.50% alcohol content.



I. Pendahuluan
             Etanol atau ethyl alkohol (C2H5OH) berupa cairan bening tidak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yang besar bila bocor. Etanol yang terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air. Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari bahan bergula, berpati dan berserat. Dengan berkembangnya proses sakarifikasi bahan-bahan berpati menggunakan enzim, bahan baku pembuatan etanol juga berkembang dari gula ke pati. Pati adalah polimer gula atau sakarida. Jika pati dipecah-pecah akan menghasilkan gula yang bisa difermentasi menjadi etanol. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol salah satunya adalah salak.
                                    Setiap kali musim panen sering terjadi pembuangan salak yang rusak dan busuk oleh para petani. Penyebabnya adalah harga jual para petani sangat rendah, sebagai imbasnya banyak salak yang tertahan di gudang petani yang akhirnya akan menyebabkan salak menjadi rusak dan busuk. Selain penumpukan salak pada gudang karena daya jual petani yang rendah, proses pengangkutan salak kepasaran juga memiliki persentase besar untuk merusak buah salak saat tiba dipasaran (Trubus 505, Des 2011). Biasanya buah salak dimanfaatkan sebagai manisan selain dikonsumsi sebagai buah segar karena kandungan gizinya yang cukup tinggi. Dimana kandungan karbohidratnya adalah 20,90 gr dengan kadar glukosa mencapai 60,83% dari bahan kering, sehingga buah salak ini bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Oleh sebab itu, untuk memanfaatkan limbah, salak yang rusak dan busuk ini dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Proses pembuatan bioetanol dari buah salak ini menggunakan proses fermentasi dan pemurnian alkohol dengan distilasi.

1.      Bioetanol dari Buah Salak Bagus dengan Menggunakan Ragi Roti

                                    Pada akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan menggunakan ragi roti adalah sebanyak 111 ml.
                                    Untuk penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan menghitung densitas             sampel yang kemudian akan dicocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda. Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai    berikut:
            Suhu    : 25°C
            Berat piknometer kosong:15,00          gram
            Volume piknometer kosong    :           10,283 ml
            Berat piknometer + aquades   :           25,20 gram
            Berat piknometer + sampel     :           23,53 gram
            Berat sampel   : 8,53 gram
            Kadar alkohol : 83,7 %

                                    Kadar alkohol tertinggi setelah didestilasi terdapat pada salak bagus dengan             penggunaan     ragi roti. Hal ini dikarenakan salak bagus masih mengandung glukosa          karbohidrat yang banyak yang dapat difermentasi dengan baik oleh bakteri        Saccaromycess cereviceae sehingga menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih             tinggi.
                                    Jumlah Kadar Alkohol pada salak bagus setelah didestilasi dengan ragi roti menghasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi dibandingkan dengan  jumlah kadar alkohol pada salak bagus dengan ragi tape. Karena ragi roti lebih banyak menggandung Saccharomycess cereviceae jika dibandingkan dengan ragi tape, maka jumlah alkohol yang dihasilkan lebih banyak pula sedangkan ragi tape mengandung lebih sedikit Saccharomycess cereviceae. Ragi roti berkembang biak dengan sangat cepat dan menghasilkan fermentasi yang mempu mengubah pati dan gula menjadi karbondioksida dan alkohol. Dalam proses fermentasinya juga menghasilkan sedikit enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses fermentasi itu sendiri sedangkan ragi tape ini menghasilkan enzim-enzim yang banyak berperan dalam proses fermentasi itu sendiri. Ragi tape yang digunakan sebagai inokulum mengandung jumlah total mikroba sebanyak 1,6 x 107 CFU/gram. Adapun isolat-isolat yang diperoleh dari ragi tersebut terdiri atas empat macam isolat mikroba, yaitu dua isolat kapang dari genus Rhizopus dan dua isolat khamir yaitu satu dari genus Saccharomycess dan satu dari genus Schizosaccharomycess.
                                    Karena komposisi mikroorganisme Saccaromycess yang terkadung pada ragi roti lebih banyak dibandingkan dengan ragi tape, maka kadar alkohol pada penambahan ragi roti lebih tinggi daripada ragi tape.

2.      Bioetanol dari Buah Salak Bagus dengan menggunakan Ragi Tape

            Pada akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan menggunakan ragi roti adalah sebanyak 103 ml.
                                    Untuk penentuan kadar alkohol dalam sampel dilakukan dengan menghitung densitas sampel yang kemudian akan di cocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda.  Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai       berikut:
            Suhu    : 25°C
            Berat piknometer kosong        :           15,00 gram
            Volume piknometer kosong    :10,283 ml
            Berat piknometer + sampel     :           23,56 gram
            Berat sampel   : 8,56 gram
            Kadar alkohol : 82,5 %

            Kadar alkohol pada salak bagus dengan menggunakan ragi tape masih tinggi dibandingkan kadar alkohol pada salak busuk meskipun lebih rendah dibandingkan dengan kadar alkohol pada salak bagus yang menggunakan ragi tape. Hal ini disebabkan karena perbedaan pada penggunaan ragi. Ragi roti dan ragi tape mengandung mikroorganisme yang sama yaitu Saccharomycess cereviceae, bedanya adalah ragi tape dibuat dengan penambahan bumbu-bumbu dan mikroorganisme lain, sehingga tidak hanya khamir tetapi ada juga beberapa jenis mikroorganisme lain. Karena ragi roti lebih banyak menggandung Saccharomycess cereviceae jika dibandingkan dengan ragi tape, maka jumlah alkohol yang dihasilkan lebih banyak pula sedangkan ragi tape mengandung lebih sedikit Saccharomycess cereviceae.

3.      Bioetanol dari Buah Salak Busuk dengan menggunakan Ragi Roti

                                    Pada akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan menggunakan ragi roti adalah sebanyak 104 ml. Dalam penelitian ini sebanyak 1 kg daging salak bagus yang difermentasikan dengan menggunakan ragi roti menghasilkan 111 ml bioetanol. Jadi, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol dibutuhkan 9 kg daging salak bagus.
                                    Untuk penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan       menghitung densitas           sampel yang kemudian akan dicocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda. Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai         berikut:
            Suhu    : 25°C
            Berat piknometer kosong        :           15,00 gram
            Volume piknometer kosong    :10,283 ml
Berat piknometer + aquades   :25,20 gram
Berat piknometer + sampel     :23,54 gram
            Berat sampel               : 8,54 gram
            Kadar alkohol             : 83,33 %

                                    Kadar alkohol pada salak busuk lebih rendah daripada salak bagus karena  pada salak busuk, glukosa dan karbohidrat yang terkandung mengalami kerusakan baik itu karena faktor mekanis, fisis, biologis maupun mikrobiologis sehingga kadar alkohol yang didapat lebih sedikit dibandingkan dengan salak bagus. Kerusakan buah salak pondoh ternyata disebabkan pertama oleh faktor mekanis seperti benturan diantara buah salak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan, tekanan dan buah jatuh dari tandannya. Kedua, faktor fisiologis seperti respirasi yang secara alami senantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebut dipangkas dari pohonnya sampai saat penyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktor mikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidak bersih menyebabkan banyak mikrobia khususnya jamur berpeluang untuk mengkontaminasi buah salak terutama bagian pangkal buah setelah buah salak tersebut terlepas dari bagian tandannya. Selain ketiga faktor di atas, penyebab kerusakan buah salak adalah faktor biologis seperti serangan serangga atau hama tikus yang menyukai buah salak masak. Penundaan pemanenan dalam upaya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi justru menyebabkan buah salak kelewat masak dan sebagian kulitnya pecah baik secara melintang atau membujur, dengan demikian kualitas buah salak menjadi turun.
                                    Berbagai faktor tersebut di atas terbukti sebagai pemicu timbulnya luka, memar, pecah kulit, berjamur, busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahan warna, buah menjadi layu dan kering seperti yang diungkapkan oleh Ryall dan Lipton (1983). Luka dan memar dapat memicu timbulnya kerusakan lain seperti kerusakan fisiologis dan mikrobiologis karena pada bagian yang luka atau memar akan terjadi perubahan warna daging buah menjadi coklat dan invasi mikrobia sehingga setelah pencoklatan daging buah berlangsung secara diikuti pembusukan. Berbagai jenis kerusakan buah salak tersebut ternyata berlangsung sejak di kebun atau saat panen, di tingkat pedagang pengepul dan selama penyimpanan 7 hari dalam besek bambu pada suhu 22°C - 26°C.

4.      Bioetanol dari Buah Salak Busuk dengan menggunakan Ragi Tape

            Pada akhir proses fermentasi, didapatkan cairan sampel yang akan didestilasi. Hasil fermentasi salak yang sudah disaring didestilasi pada suhu (78-81)°C. Pada akhir proses destilasi, destilat yang diperoleh pada salak bagus dengan menggunakan ragi roti adalah sebanyak 103 ml. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol dari salak busuk dibutuhkan 9,6 kg daging salak busuk. Jika membandingkan harga salak bagus dengan salak busuk, tentu jauh lebih ekonomis harga salak busuk sebagai bahan baku. Maka dari itu salak busuk cocok digunakan untuk pembuatan bioetanol sebagai pemanfaatan limbah. Untuk penentuan kadar alkohol dalam sampel dapat dilakukan dengan menghitung densitas  sampel yang kemudian akan di cocokkan dengan lampiran densitas etanol pada suhu dan konsentrasi berbeda. Sampel diukur menggunakan piknometer, dan didapatkan data sebagai berikut:
Suhu    : 25°C
Berat piknometer kosong: 15,00 gram
Volume piknometer kosong    : 10,283 ml
Berat piknometer + aquades   :25,20 gram
Berat piknometer + sampel     : 23,56 gram
Berat sampel               : 8,56 gram
Kadar alkohol             : 82,5 %

            Kadar alkohol yang didapat pada salak busuk dengan menggunakan ragi tape sama dengan kadar alkohol pada salak bagus yang menggunakan ragi tape yaitu 82,5 %. Jumlah etanol yang didapat dari hasil destilasi pun sama yaitu 103 ml. Dengan nilai yang sama ini, dapat diketahui bahwa ragi tape tidak memberikan perbedaan pada alkohol yang didapat baik pada salak bagus maupun salak busuk, dapat dikatakan bahwa ragi tape tidak mempengaruhi jumlah etanol dan kadar etanol yang dihasilkan. Karena ragi tape mengandung sedikit Saccharomycess cereviceae sehingga tidak memberikan pengaruh perbedaan pada kadar alkohol baik pada salak bagus maupun busuk.

5.      Kesimpulan
            Dari analisa kuantitatif didapat jumlah bioetanol dari buah salak busuk dengan menggunakan ragi tape sebesar 103 ml, dengan kadar alkohol 82,50 %.  Sedangkan salak busuk yang menggunakan ragi roti menghasilkan 104 ml etanol dengan kadar 83,33 %.
            Media yang paling cocok pada proses fermentasi ini adalah salak bagus, karena menghasilkan jumlah dan kadar alkohol yang tinggi. Namun salak busuk juga dapat dimanfaatkan karena menghasilkan jumlah yang tidak jauh hasilnya dengan salak bagus yaitu 0–7 ml, sedangkan perbedaan konsentrasi antara 5,3-6,6 %. Maka salak busuk baik dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol sebagai pemanfaatan limbah. Dalam perlakuan penambahan jenis ragi, ragi roti yang paling bagus, karena ragi roti memiliki jumlah bakteri saccaromycess yang terbanyak jika dibandingkan dengan ragi tape sehingga menghasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi.

6.      Daftar Pustaka

Purnamasari, Fitria dkk.          Pemanfaatan Limbah Buah    Salak sebagai Sumber             Bahan Bakar Alternatif         (Bioetanol).     http//www.ejurnal.bunghat     a.ac.id/
           
            Tathagati, Arini. 2007. Bio
                          Gasoline bensin Ramah                    Lingkungan. Warta Pertamina  No. 1 thn XLII.                               http://www.rhienarticle.blogspot.co  m/- 92k.


Wijayanti, Yurida. 2011.        Pembuatan Bioetanol dari      Buah Salak dengan Proses     Fermentasi      dan             Distilasi. Medan. USU.

REVIEW III

Review Pemurnian Bioethanol Menggunakan Destilasi, Zeolit Sintesis dan Batu Gamping
Taufiq Siahaan (1112096000052)
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412

ABSTRAK
Telah dilakukan  penelitian mengenai  pemurnian bioetanol dengan metode destilasi dan adsorpsi dengan batch system. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan destilasi, Zeolit Sintesis (ZS) dan Batu Gamping (BG) sebagai agen untuk pemurnian bioethanol. Dalam penelitian ini, dilakukan pembuatan bioetanol dari singkong (Manihot Utilissima) yang dihidrolisis menggunakan Aspergillus niger dan difermentasi menggunakan ragi. Kadar bioethanol yang dapat dimurnikan dengan cara destilasi sebesar 76%, dengan cara penambahan zeolite sintesis sebesar 99% dan dengan cara penambahan batu gamping sebesar 99%.



PENDAHULUAN
Bio-ethanol dengan kadar antara 95% sampai 99,8% Bioetanol memang potensial dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, kemurnian 99,5% adalah Syarat itu mutlak karena jika berkadar di bawah 90%, mesin tidak bisa menyala karena kandungan airnya terlampau tinggi.
Sebetulnya bioetanol berkadar kemurnian 95% masih layak dimanfaatkan sebagai bahan bakar motor. Hanya saja, dengan kadar kemurnian itu perlu penambahan zat antikorosif pada tangki bahan bakar agar tidak menimbulkan karat. Sayangnya, saat ini banyak produsen yang menghasilkan bioetanol dengan kemurnian di bawah 95-99%.
Memurnikan bioetanol bisa dengan dua cara, yaitu kimia dan fisika. Cara kimia dengan menggunakan batu gamping. Sedangkan cara fisika ditempuh dengan proses penyerapan menggunakan zeolit sintetis dan destilasi.
Batu gamping adalah batu yang terbuat dari pengendapan cangkang kerang dan siput, foraminifera atau ganggang. Batu itu berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, cokelat, atau hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan kapur adalah aragonit. Ia merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral lainnya siderit, ankarerit, dan magnesit, tapi ketiganya berjumlah sangat sedikit.
Zeolit sintetis berbeda dengan zeolit alam. Zeolit sintetis terbentuk setelah melalui rangkaian proses kimia. Namun, baik zeolit sintetis maupun zeolit alam berbahan dasar kelompok alumunium silikat yang terhidrasi logam alkali dan alkali tanah (terutama Na dan Ca). Struktur zeolit berbentuk seperti sarang lebah dan bersifat negatif. Sifat pori-porinya yang negatif bisa dinetralkan dengan penambahan ion positif seperti sodium.
Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini termasuk sebagai unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton.

HASIL dan PEMBAHASAN
Pemurnian bioethanol menggunakan destilasi atau penyulingan air
Percobaan dengan menggunakan alat destilasi dilakukan dengan memasukan 1 liter air hasil fermentasi kedalam labu destilasi kemudian didestilasi selama 5 jam dan menghasilkan 200 ml destilat dengan kadar pemurnian 76%. Kadar pemurnian ini sangat jauh dari kelayakan untuk menjadi bahan bakar kendaraan bermotor yang membutuhkan kemurnian sebesar 99% sehingga cara ini tidak dapat diterapkan untuk membuat bioethanol dengan kadar 99%. Namu, cara ini sangat efisien untuk dilakukan dalam skala laboratorium untuk percobaan memurnikan ethanol. Cara ini juga sangat murah karena alat-alat destilasinya dapat dibuat dengan menggunakan barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai.
Pemurnian bioethanol menggunakan zeolit sintesis
Percobaan dengan menggunakan zeolite sintesis yang telah digerus hingga halus ini dilakukan dengan memasukkan 7 liter bioethanol dengan penambahan 1kg zeolit sintesis. Percobaan ini diperkirakan memakan waktu selama seminggu dengan pengecekan berkala setiap harinya, namun pada hari kedua (setelah 48 jam) percobaan dihentikan dan didapatkan hasil 6,3 liter dengan kadar pemurniannya mencapai 99%. Cara ini sangat cocok diterapkan dalam industry dengan pengembangan cara yang lebih menguntungkan, sebab harga 1 kg zeolite sintesis sebesar Rp.100.000 dengan hasilkan 6,3 liter ethanol 99%. Jika 100 ribu hanya menghasilkan 6,3 liter saja, berarti bahan bakar bioethanol ini dimungkingkan dijual minimal 20 ribu perliter.
Pemurnian bioethanol menggunakan batu gamping
Percobaan dengan menggunakan batu gamping yang telah digerus hingga halus ini dilakukan dengan memasukkan 7 liter bioethanol dengan penambahan 2kg batu gamping. Percobaan ini diperkirakan memakan waktu selama seminggu dengan pengecekan berkala setiap harinya, namun pada hari keenam (setelah 144 jam) percobaan dihentikan dan didapatkan hasil 4,9 liter dengan kadar pemurniannya mencapai 99%. Cara ini merupakan cara yang cocok diterapkan baik dalam skala besar maupun skala kecil sebab harga yang dibutuhkan untuk membeli bahan baku 1kg batu gamping sebesar Rp.35.000. Cara ini memang lebih murah dibandingkan dengan menggunakan zeolite sintesis dan dapat diterapkan pula diindustry, namun waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan bioethanol dengan kadar 99% ini memakan hingga 6 hari mungkin lebih dan hasil yang diperolehnya pun hanya 4,9 liter dari 7 liter yang digunakan.

KESIMPULAN
Untuk membuat perbandingan antara ketiganya sangat sulit karena perlakuan anatara ketiganya berbeda-beda. Namun, masing-masing cara pemurnian memiliki nilai kelebihan dan kekurangan.
-          Destilasi cocok digunakan dalam skala kecil atau skala laboratorium
-          Zeolit sintesis cocok digunakan dalam skala besar atau skala industry
-          Batu gamping cocok digunakan dalam skala kecil maupun skala besar.




DAFTAR PUSTAKA
-          Atnas, P.W. 1999. Kimia Fisik Jilid 1. Jakarta : Erlangga
-          Fessenden dan Fessenden.1986. Kimia Organik 1. Jakarta : Erlangga
-          Http://www.anekailmu.com
-          Http://www.scribd.com
-          Http://www.wikipedia.com

REVIEW II

Pemanfaatan Ampas Tebu, Tongkol Jagung, Ampas Dan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Shofwatunnisa (1112096000060)
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412

Abstrak
Bioetanol berasal dari dua kata yaitu "bio" dan "etanol" yang berarti sejenis alkohol yang merupakan bahan kimia yang terbuat dari bahan baku tanaman yang mengandung pati, seperti ampas tebu, tongkol jagung, ampas dan kulit singkong. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membandingkan hasil yang diperoleh, serta menentukan bahan baku terbaik sebagai bahan baku pembuatan bioetanol berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari ampas tebu, tongkol jagung, ampas dan kulit singkong memiliki variabel yang berbeda dalam variasinya.  Perbandingan dilihat berdasarkan bahan baku yang menghasilkan kadar etanol paling tinggi. faktor-faktor yang mempengaruhi baik tidaknya kadar etanol yang dihasilkan adalah diantaranya, nutrisi (zat gizi), ragi, waktu fermentasi, keasaman (pH), temperatur, dan udara pada saat fermentasi. Dari hasil perbandingan, diketahui bahwa tongkol jagung merupakan bahan baku pembuatan bioetanol terbaik dibandingkan ampas tebu, ampas singkong dan ampas kulit singkong dengan kadar etanol tertinggi yaitu 5,66%.
Abstract
Bioethanol is derived from two words " bio " and " ethanol " which means a type of alcohol is a chemical that is made from raw materials containing starch crops , such as sugarcane bagasse , corn cobs , cassava pulp and skin . The purpose of this paper is to compare the results obtained , as well as determining the best raw materials as feedstock for bioethanol production based on research that has been done before . Research on the manufacture of bioethanol from sugarcane bagasse, corn cobs, cassava pulp and skin has different variables in the variation. Comparison views based on raw materials that result in the highest ethanol content. the factors that influence whether or not the levels of ethanol produced is such,  nutrients ( nutrients ), yeast, fermentation time, acidity (pH), temperature, and air during fermentation. From the comparison, it is known that corn cob is the best raw material for bioethanol production compared bagasse, cassava pulp and cassava peel waste with the highest ethanol content is 5.66 %.



1. PENDAHULUAN
            Bioetanol berasal dari dua kata yaitu "bio" dan "etanol" yang berarti sejenis alkohol yang merupakan bahan kimia yang terbuat dari bahan baku tanaman yang mengandung pati. Etanol merupakan senyawa alkohol yang mempunyai dua atom karbon (C2H5­OH). Rumus kimia umumnya adalah CnH2n+OH. Karena merupakan senyawa alkohol, etanol memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih), berfase cair pada temperatur kamar, mudah menguap, serta mudah terbakar. (Wiratmaja dkk, 2011).
Bioetanol bersumber amilum yang berbentuk polisakarida dapat dihidrolisis menjadi glukosa melalui pemanasan, menggunakan katalis dan pemanfaatan enzim. Glukosa selanjutnya difermentasi menghasilkan etanol. Fermentasi etanol merupakan aktivitas penguraian gula (karbohidrat) menjadi senyawa etanol dengan mengeluarkan gas CO2, fermentasi ini dilakukan dalam kondisi anaerob atau tanpa adanya oksigen. Umumnya, produksi bioetanol menggunakan mikroba Saccharomyces cerevisiae. Mikroba ini dapat digunakan untuk konversi gula menjadi etanol dengan kemampuan konversi yang baik (I Nyoman, 2011), tahan terhadap etanol kadar tinggi, tahan terhadap pH rendah, dan tahan terhadap temperatur tinggi (Suyandra, 2007).
Salah satu sumber hayati yang memiliki potensi besar sebagai bioetanol adalah berasal dari limbah yang dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value). Menurut Santoso (1998), limbah adalah suatu bahan yang terbuang dari suatu hasil aktivitas manusia atau proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Feri susanto dkk (2012) adalah mengenai pemanfaatan ampas tebu sebagai limbah pabrik gula dalam pembuatan bioetanol. Penelitian mengenai pemanfaatan ampas dan kulit singkong sebagai  limbah yang dihasilkan oleh produksi industri tapioka untuk dikonversikan menjadi bioetanol dilakukan  oleh Juwita dan Susilowati (2007). Sementara Sumarsih dkk (2011) melakukan penelitian mengenai bioetanol yang dihasilkan oleh tongkol jagung. Limbah-limbah  yang dihasilkan diatas termasuk limbah biologis atau organik, karena ditimbulkan sebagai sisa dari produk yang merupakan bahan biologi atau organik. Oleh sebab itu, masih memiliki kandungan gizi terutama karbohidrat atau pati untuk kemudian diolah menjadi produk yang memiliki daya guna, yaitu bioetanol.
Secara garis besar penggunaan etanol adalah sebagai pelarut untuk zat organik maupun anorganik, bahan dasar industri asam cuka, ester, spirtus, asetaldehid, antiseptik dan sebagai bahan baku pembuatan eter dan etil ester, Etanol juga dapat digunakan sebagai campuran minuman dan dapat digunakan sebagai bahan bakar (gasohol) (Suyandra, 2007).
Penulis bertujuan untuk membandingkan hasil yang diperoleh, serta menentukan bahan baku terbaik sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Penelitian pembuatan bioetanol dari ampas tebu, tongkol jagung, ampas dan kulit singkong memiliki variabel yang berbeda dalam variasinya. Disamping itu, metode penelitian yang digunakan pun berbeda. Pembahasan  mengenai ketiga penelitian ini akan dibahas secara umum dan dibatasi pada ampas tebu, tongkol jagung, ampas dan kulit singkong yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol.
2. PEMBAHASAN
 Pembuatan bioetanol dari ampas tebu
Pada penelitian pembuatan bioetanol dengan ampas tebu, variabel yang dianalisa adalah pengaruh penambahan ragi roti dan waktu fermentasi terhadap glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% dalam pembuatan bioetanol. Jumlah ampas tebu yang digunakan sebayak  75 g ampas tebu yang telah halus. Ampas tebu mengandung selulosa sebesar 29,81%. Selulosa diisolasi dari ampas tebu yang kemudian dihidrolisis dengan HCl 30% untuk menghasilkan glukosa yang kemudian dianalisa dengan metode Nelson-Somogyi dan kadar gula reduksi yang diperolah dari hasil hidrolisis sebesar 9,15%. Fermentasi glukosa menggunakan ragi roti tanpa isolasi Saccharomyces cereviceae terlebih dahulu. Variasi penambahan ragi roti 1 gram, 2 gram dan 3 gram dengan lama waktu fermentasi 2 hari, 4 hari, 6 hari dan 8 hari. Kadar bioetanol dianalisa dengan titrasi volumetrik menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar bioetanol tertinggi yaitu sebesar 5,12% pada penambahan ragi roti 2 gram dengan lama waktu fermentasi 6 hari. Pada hari ke enam mikroba berada pada fase eksponensial dan merupakan waktu paling optimum bagi mikroba untuk dapat menguraikan glukosa menjadi bioetanol. Pada fermentasi hari ke-8 dengan penambahan 3 gram ragi roti dihasilkan kadar bioetanol yaitu 3,41%. Pada hari ke delapan ini mikroba telah memasuki fase kematian yang dapat dilihat adanya serbuk putih diatas larutan fermentasi. Fase kematian ini disebabkan karena penurunan jumlah nutrisi sehingga mikroba tidak mampu mengubah substrat glukosa menjadi bioetanol akibatnya kadar bioetanol yang dihasilkan semakin menurun.

Pembuatan bioetanol dari tongkol jagung
 Tongkol jagung banyak mengandung hemiselulosa dan selulosa yang dapat dihidrolisis dan difermentasi menjadi bioetanol, tetapi lignin yang terkandung juga di dalamnya dapat menghambat proses hidrolisis sehingga perlu perlakuan awal untuk degradasi lignin tersebut. Masing-masing kandungannya pada tongkol jagung adalah Hemiselulosa 43,89 %, Selulosa 32,8 %, dan Lignin 12,975 %. Penelitian pembuatan bioetanol dari tongkol jagung ini bertujuan untuk menghasilkan bioetanol dengan  mendegradasi lignin yang lebih maksimal dengan cara mencampurkan antara proses enzimatis dan kimiawi sehingga dihasilkan bioetanol yang lebih banyak. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan digunakan NH4OH 15 %, H2O2 7,5% , serta enzim lakase 7,5 % dan 15 % untuk proses perlakuaan awal terhadap substrat. Serbuk tongkol jagung yang digunakan adalah sebanyak 50 gram untuk masing-masing perlakuan. Berdasarkan hasil analisis, kandungan sisa lignin terendah dalam tongkol jagung adalah perlakuan awal menggunakan NH4OH 15%. Enzim lakase pada penelitian ini mampu mendegradasi sebagian lignin pada substrat tetapi juga mampu mendegradasi sebagian hemiselulosa, sehingga kadar gula pereduksi dari substrat tersebut berkurang. Substrat tongkol jagung hasil perlakuan awal dengan kandungan lignin terendah yang akan dihidrolisis dengan enzim dan kemudian difermentasi. Substrat perlakuan awal NH4OH 15% dihidrolisis dengan enzim selulase, xilanase, dan xilosa isomerase dalam rasio aktivitas enzim 1:1:1 selama 6 jam sehingga menghasilkan glukosa dan xilulosa. Hidrolisat dari proses hidrolisis enzim difermentasi dengan ragi Saccharomyces cereviceae selama 3 hari. Kadar hasil fermentasi yaitu etanol dihitung dengan metode Skoog yang berdasarkan pada berat jenis etanol tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar bioetanol hasil fermentasi sebesar 5,66 %.

Pembuatan bioetanol dari ampas dan kulit singkong
Penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari ampas dan kulit singkong bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ampas dan kulit singkong yang dapat dikonversikan menjadi etanol dengan menggunakan proses fermentasi. Dalam penelitian ini dilakukan variasi penambahan fermipan dan waktu fermentasi dengan menggunakan metode eksperimental. Ampas dari singkong dan kulit singkong yang digunakan masing-masing sebanyak 25 gram berupa tepung yakni limbah singkong yang telah dihaluskan. Pati dihidrolisis oleh enzym a-amilase, kemudian ditambahkan nutrient NPK sebanyak 5 gram untuk masing-masing sampel. Proses fermentasi dilakukan dengan fermipan yang divariasi beratnya yaitu 2 gram, 2.5 gram dan 3 gram.  Etanol yang dihasilkan tidak banyak. Hal ini disebabkan kandungan glukosa yang ada pada ampas dan kulit singkong sedikit .Glukosa yang dihasilkan dalam kulit singkong adalah 60 % dan ampas singkong sebesar 40%. Kadar bioetanol diketahui dengan melakukan analisa GC (Gas Chromatography). Berdasarkan hasil analisa GC, hasil yang maksimal diperoleh pada penambahan fermipan 2.5 gram. Sebab semakin banyak fermipan yang ditambahkan maka etanol yang terbentuk juga semakin banyak karena dengan semakin banyak ragi yang ditambahkan, maka bakteri yang mengurai glukosa menjadi etanol pun semakin banyak. Sedangkan pada penambahan 3 gram cenderung turun secara drastis. Hal ini disebabkan adanya ragi yang mati pada saat proses fermentasi berlangsung. Dan waktu optimum dalam proses fermentasi ini adalah pada hari ke-7, karena dengan semakin lama waktu, makin banyak glukosa yang terkonversi menjadi etanol. Sedangkan pada hari ke-9 produksi etanol cenderung menurun. Etanol yang dihasilkan dari kulit dan ampas singkong berkisar antara 0,1 – 0,7 gram dengan kadar 0,69%  pada ampas kulit singkong dan 0,48% pada ampas singkong. Sehingga diketahui bahwa ampas kulit singkong mengadung lebih banyak glukosa, sehingga kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi dari pada ampas singkong.
Tabel 1. Perbandingan hasil penelitian
Bahan baku
Jumlah Bahan
Kadar etanol
Ampas tebu
75 gram
5.12 %
Tongkol jagung
50 gram
5.66 %
Ampas singkong
25 gram
0.69 %
Ampas kulit singkong
25 gram
0.48 %

Dari tabel di atas, diketahui bahwa ampas tebu menghasilkan etanol dengan kadar 5,12%, tongkol jagung menghasilkan etanol dengan kadar 5,66%, ampas singkong menghasilkan etanol dengan kadar 0,69% dan ampas kulit singkong menghasilkan etanol dengan kadar 0,48%. Penelitian dilakukan dengan jumlah bahan, metode, dan perlakuan yang berbeda. Namun, menggunakan prinsip yang sama yaitu menggunakan proses hidrolisis dan proses fermentasi untuk dapat menghasilkan bioetanol. Jika ditinjau dari jumlah bahan yang digunakan, jumlah ampas dan kulit singkong yang digunakan lebih sedikit sehingga menghasilkan sedikit kadar etanol. Namun, tongkol jagung tetap memiliki kadar etanol lebih tinggi dari ampas tebu meskipun jumlah bahan yang digunakan lebih sedikit dari ampas tebu. Kadar etanol yang lebih tinggi pada tongkol jagung dapat disebabkan oleh adanya perlakuan khusus yakni pemecahan lignin sehingga dapat menghasilkan bioetanol dengan maksimum. Selain dari jumlah bahan, faktor-faktor yang mempengaruhi baik tidaknya kadar etanol yang dihasilkan adalah diantaranya, Nutrisi (zat gizi), jumlah ragi yang digunakan, waktu fermentasi, Keasaman (pH), Temperatur, dan Udara pada saat fermentasi.

3. KESIMPULAN
Tongkol jagung merupakan bahan baku pembuatan bioetanol terbaik dibandingkan ampas tebu, ampas singkong dan ampas kulit singkong dengan kadar etanol tertinggi yaitu 5,66%.




4. DAFTAR PUSTAKA
1.      Ardian, N.D., Endah, R.D., dan Sperisa, D., 2007, Pengaruh Kondisi Fermentasi terhadap Yield Etanol pada Pembuatan Bioetanol dari Pati Garut, J. Gema Teknik,2, pp.1
2.      Budi M., Sasongko, 2007, Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Bioetanol Daerah Istimewa Yogyakarta.
3.      Fausa Okta Ananta Laksa, Ni Nyoman Tripuspaningsih, Sri Sumarsih. 2011. Pengaruh Enzim Lakase pada Perlakuan Awal Amonium Hidroksida dan Hidrogen Peroksida dalam Produksi Bioetanol dari Tongkol Jagung Program Studi S1 Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
4.      I Nyoman W. P., I Gusti B. W., dan I Nyoman, S. W., 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua Dengan Memanfaatkan Limbah Rumput Laut Eucheuma Cottonii Sebagai Bahan Baku. Kampus Bukit Jimbaran Bali.
5.      I Nyoman W. P., I Gusti B. W., dan I Nyoman, S. W., 2011, Proses Treatment dengan
Menggunakan NaOCl dan H2SO4 untuk Mempercepat Pembuatan Etanol dari Limbah
Rumput Laut Eucheuma Cottonii, jurnal imiah, 3, pp. 64-68.
6.      Juwita, A. A. dan Susilowati, Chirilla. 2007. Bioetanol dari ampas dan kulit singkong. Jurnal ilmiah. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.
7.      Nurfiana F.,Umi, M., Vicki, C.J., dan Putra S., 2009, Pembuatan Bioethanol dari Biji Durian sebagai Energi Alternatif, Artikel Seminar Nasional V, SDM Teknologi Nuklir
Yogyakarta, ISSN 1978-0176.
8.      Susanto, Feri., Yusak, Yuniarti., dan Bulan , Rumondang. 2012. Pengaruh Penambahan Ragi Roti Dan Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa ampas Tebu (Saccharum officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol. Jurnal ilmiah. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara


9.      Suyandra D. I., 2007, Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon, sp) sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae, Skripsi,Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.